Pages

Sunday 29 January 2012

Raja Sisingamangaraja ( Raja Batak)

Raja Sisingamangaraja ( Raja Batak)

Bab I
PENDAHULUAN
1. Jejak Raja-raja Batak Dalam Legenda
KEBERADAAN etnis-etnis di Indonesia tidak terlepas dari lagenda yang selalu dituturkan dari mulut ke mulut serta menjadi cerita rakyat. Seperti hikayat Putri Hijau dari Tanah Deli atau Jaka Tingkir dari Jawa, etnis Batak (Toba) juga mempunyai hikayat yang hingga kini tetap hidup di tengah masyarakatnya.
Konon, perjalanan etnis Batak dimulai dari seorang raja yang mempunyai dua orang putra. Putra sulung diberi nama Lontungon dan kedua diberi nama Isumbaon. Setelah keduanya dewasa, mereka menghadap sang ayah yang juga raja di daerah itu. Kedua anaknya meminta ilmu sakti. Sang ayah menyanggupi, namun dengan syarat keduanya harus membangun tempat persembahan di atas bukit yang bernama Pusuk Buhit. Setelah itu, selama tujuh hari tujuh malam kedua anaknya tidak bisa ke tempat itu sebelum waktu yang ditentukan tiba. Setelah tujuh hari tujuh malam terlewati, sang Raja beserta kedua anaknya pergi ke Pusuk Buhit. Di sana, mereka menemukan dua buku yang disebut sebagai buku Laklak bertuliskan surat batak.
Sang Raja menyuruh si sulung mengambil buku itu, dan meminta apa yang mau dimintanya kepada sang pencipta. Saat itu, si sulung meminta kekuatan, kebesaran, rezeki, keturunan juga kepintaran, kerajaan, kesaktian dan tempat berkarya untuk semua orang. Permintaan si bungsu pun sama. Sang Raja mengubah nama si sulung menjadi Guru Tatea Bulan. Konon, Guru Tatea Bulan dengan lima putranya yakni Raja Geleng Gumeleng si sulung, Seribu Raja, Limbong Mulana, Segala Raja, si Lau Raja dan empat putrinya yakni si Boru Pareme kawin ke Seribu Raja (Ibotona) abang kandungnya. Bunga Haumasan kawin dengan Sumba. Atti Hasumasan kawin ke Saragi, dan Nan Tinjo konon jadi Palaua Malau.
Suatu hari, Seribu Raja menghadap ayahnya untuk memberitahukan mimpinya. Dalam mimpi itu ia mengatakan agar ayahnya mengantarkannya ke Pusuk Buhit. Di sana dia tampak menjadi seorang yang sakti dan kelak abang dan adik-adiknya tunduk dan menyembahnya. Ayahnya tertegun dan bertanya lagi. Tapi yang menjawab adalah Geleng Gumeleng, padahal yang bermimpi adalah Seribu Raja.Saat itu juga Geleng Gumeleng berkeinginan untuk bisa ke Pusuk Buhit.Ayahnya mendukung Geleng Gumeleng pergi ke Pusuk Buhit, tapi Seribu Raja tak mau mengalah. Sehingga terjadi pertengkaran dan Seribu Raja pergi meninggalkan ayahnya.
Di Pusuk Buhit, Sang ayah menempa Raja Geleng Gumeleng menjadi raja sakti yang namanya diubah Raja Uti. Sementara Seribu Raja yang melarikan diri ke hutan tidak mau lagi menemui ayahnya Guru Tatea Bulan. Raja Lontung Dalam penelusuran penulis di Samosir diceritakan pada suatu hari ketika Seribu Raja sedang beristirahat dalam pengembaraannya, lewatlah seorang gadis cantik yang sangat jelita bak bidadari dari kayangan dan menarik perhatian Seribu Raja. Karena tertariknya, Seribu Raja pun membuat pelet (mistik penangkap wanita) supaya wanita itu lengket. Pelet itu diletakkan di atas tanah yang akan dilewati gadis cantik jelita itu.
Tapi apa yang direncanakan Seribu Raja bukanlah menjadi kenyataan karena takdir berkata lain dan justru yang lewat dari tempat tersebut adalah adik perempuannya sendiri bernama Siboru Pareme yang datang mengantar makanan untuk Seribu Raja. Boru Pareme yang tadinya biasa-biasa saja, menjadi jatuh cinta kepada abangnya padahal dalam adat Batak hal itu sangat tabu. Tetapi karena pelet Seribu Raja, semua berubah hingga akhirnya mereka menjadi suami istri.
Ketika Guru Tatea Bulan mendengar kedua anaknya telah menikah, dia murka dan mengusir Seribu Raja. Sebelum pergi, Seribu Raja memberikan sebuah cincin kepada adik yang juga istrinya dan berpesan bila anaknya lahir diberi nama Si Raja Lontung.
2. Raja Borbor
Dalam pengembaraannya, Seribu Raja bertemu dengan seorang raja yang bergelar Raja Ni Homang. Tetapi dalam pertemuan itu terjadi pertarungan antara Seribu Raja dengan Raja Ni Homang. Kalau Seribu Raja kalah akan menjadi anak tangga ke rumah Raja Ni Homang dan bila Raja Ni Homang kalah, maka anak gadisnya akan diperistri oleh Seribu Raja.Pertarungan itu dimenangkan Seribu Raja. Tetapi sebelum dipersunting oleh Seribu Raja, sang putri raja itu ingin membuktikan kehebatan Seribu Raja. Maka gadis itu menyuruh Seribu Raja untuk mengambil daun pohon hatindi yang tumbuh di atas embun pati dengan syarat Seribu Raja harus tetap ada ditempatnya berdiri. Dan, bila sudah dapat dia bersedia menjadi istrinya.
Seribu Raja menyanggupi permintaan Boru Mangiring Laut. Dengan tiba-tiba tangan Seribu Raja dikibarkan ke atas kepalanya mengakibatkan angin di tempat itu menjadi kencang dan daun hartindi itu terbang ke tangannya. Bunga itu pun diberikannya kepada Boru Mangiring Laut. Setelah menikah, nama Boru Mangiring Laut diganti menjadi Huta Lollung, artinya kalah bertanding. Tak lama kemudian, boru Mangiring hamil namun Seribu Raja tidak menunggu kelahiran anaknya. Dia akan melanjutkan pengembaraannya.Dan, sebelum pergi dia memberikan sebuah cincin sakti. Pesan terakhir Seribu Raja, bila anaknya lahir diberi nama Raja Borbor.
Pertemuan Raja Lontung-Raja Borbor Konon, setelah dewasa Raja Lontung berangkat menelusuri hutan untuk mencari ayahnya Seribu Raja. Suatu hari Raja Lontung merasa sangat haus.Dia pun beristirahat barang sejenak. Di bawah pohon rindang, Raja Lontung mengambil pedangnya dan memotong salah satu akar pohon rotan untuk mengambil airnya. Tetapi bila dia mengangkat akar rotan itu ke mulutnya, tiba-tiba lepas karena ada yang menariknya dari sebelah. Begitulah yang terjadi sampai tiga kali.
Raja Lontung marah. Pasti ada orang yang mempermainkannya. Sekali lagi Raja Lontung menarik rotan itu kuat-kuat sehingga terjadi tarik menarik. Karena rasa kesal yang teramat sangat Raja Lontung berseru : “Jangan ganggu saya”.
Namun, akhirnya terjadi perkelahian dengan orang yang belum dikenal oleh Raja Lontung. Masing-masing mereka mengeluarkan ilmu sakti namun tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Akhirnya keduanya berkenalan. Lawan si Raja Lontung adalah Raja Borbor.Saaty itu mereka saling bertanya siapa ayah mereka sebenarnya. Keduanya terkejut sebab ayah mereka adalah Seribu Raja. Akhirnya mereka mencari Seribu Raja.
3. Boru PASARIBU Berhubungan Erat Dengan Kelahiran Sisingamangaraja
Barita tradisi na mistik – Katanya oppung, songon on ma ceritana na jolo – Raja Bona ni Onan tuanboruna [ istrinya ] boru Pasaribu. Mereka mempunyai seorang putri yang mempunyai cacad sumbing.
Raja Bona ni Onan tidak merasa bahagia, senang dan suka atas putrinya yang mempunyai cacad sumbing itu, sehingga ia meninggalkan istrinya boru Pasaribu bersama putrinya dan pergi ke daerah lain disekitar Tapanuli.
Boru Pasaribu adalah seorang ibu yang baik hati, ia kecewa atas perbuatan suaminya karena ditinggalkan bersama seorang putrinya yang cacad sumbing itu.
Suatu hari boru Pasaribu bersama putrinya pergi ke Tombak [ hutan ], goarni tombak i, tombak sulusulu untuk mencari pohon guna membuat aerabu.
Ditengah perjalanan hutan boru Pasaribu merasa sepi dan ia meratap dengan kata-katanya “ Iale amang siadopan Raja Bona ni Onan, tung so adong be huruha holong ni roham di hami. Tonape tu angka parlanja so hea dibahen ho begeon nami. Alai adong do Parasiroha i Ompunta Mula Jadi na Bolon. Ba sai Ompunta i ma mandongani hami” terjemahannya adalah kira-kira beginilah: [o, Raja ni Bona ni Onan, tidak ada lagi kasih sayang mu terhadap kami. Pesan pun kepada orang perantau yang berasal dari daerah itu tidak pernah kamu beritahukan. Walaupun kami tidak mengetahui bagaimana keberadaanmu dengan tidak keperdulianmu masih ada yang melindungi kami yaitu Tuhan Yang Maha Besar ] ,” sebutnya.
Setelah Boru Pasaribu dan putrinya di Tombak Sulusulu mencari pohon itu, pergilah boru Pasaribu ke mata air tempat mandi yang ada di hutan itu, tiba-tiba seorang pria tampan yang turun dari langit ke tempat pemandian tersebut dan mengatakan kepada boru Pasaribu, “janganlah kamu kecewa. Lihatlah nanti kamu akan melahirkan seorang laki-laki yang bijaksana yang menjadi seorang Raja di desa ini.”
Kemudian pria tampan itu tiba-tiba menghilang begitu saja, sontak saja boru Pasaribu dan putrinya heran melihat kejadian yang aneh itu. Meraka pulang dari Tombak sulusulu dan mereka memberitaukan itu semuanya kepada warga didesa itu.
Benar, tidak berapa lama lagi boru Pasaribu mengandung atau hamil. Beberapa bulan kemudian Raja Bona ni Onan pulang ke kampung halaman-nya dan mendengarkan dari warga bahwa tuanboruna [ istrinya ] sudah mengandung atau hamil.
Raja Bona ni Onan, jelas marah besar, ia berasumsi atau mengira bahwa istrinya itu sudah salah melangkah. Dia tidak mau lagi tinggal di rumahnya dan tidak mau lagi menjumpai istrinya tersebut.
Setelah sepuluh bulan lamanya kandungan dari boru Pasaribu, ia menginginkan makan dengke na niura, huhut minum aek si unte pangir [ ikan masakan khas batak dengan air jeruk purut ].
Boru Pasaribu itu menyuruh putrinya untuk menjumpai bapaknya Raja Bona ni Onan agar menyediakan permintaannya yakni makanan dan minum tersebut. Namun Raja Bona ni Onan tidak memperdulikan permintaan dari istrinya itu dan ia mengatakan kepada putrinya tersebut agar kepada pria yang membuatnyalah dimintahnya.
Istrinya boru Pasaribu sangat kecewa mendengarkan hal itu, namun untuk kedua kalinya putrinya tersebut disuruhnya kembali untuk menyediakan permintaannya. Raja Bona ni Onan tetap dalam pendiriannya tidak mau menyediakan permintaannya itu.
kemudian boru Pasaribu tidak habis akal dan kembali menyuruh putrinya untuk pergi kepada Tulangnya iboto ni boru Pasaribu [ pamannya] agar menyediakan hidangan tersebut.
Tulangnya iboto ni boru Pasaribu [ paman ] menyediakan hidangan Dengke nani ura dohot aek unte pangir sesusai dengan permintaannya.
Akhirnya boru Pasaribu memakan dan meminum yang di mintanya itu, setelah dirasakan boru Pasaribu mau melahirkan ia memberitahukan kepada seluruh kampungnya agar malam ini akan datang angin puting beliung yang menghancurkan rumah dan pepohonan. Jika permintaan kalian rumah penduduk jangan hancur berikanlah sebuah Sanggar atau sangkar untuk mengganjal rumah masing-masing warga di kampung itu.

Gambar Upacara Tulang-belulang Sisingamaraja XII dipindahkan dari Pearaja (Tarutung) ke Soposurung (Balige) terlihat angin puting beliung haba-haba mengiringi prosesi pemakaman ke Soporurung
Malamnya itu benar terjadi seperti yang dikatakan boru Pasaribu, siapa orang penduduk kampung yang percaya dengan apa yang dikatakan boru Pasaribu rumahnya selamat dari angin puting beliung tersebut, namun bagi orang penduduk yang tidak percaya rumahnya hancur berkeping-keping, dan pada waktu malam itulah boru Pasaribu melahirkan seorang bayi laki-laki.
Setelah anak itu berumur 7 tahun ibunya mengajak anaknya itu ke Tombak sulusulu untuk mencari kayu guna membuat aerabu. Diwaktu ibunya mencari kayu di tombak atau hutan terjadilah GEMPA, ibunya melihat kesekelilingnya ternyata dilihatlah anaknya tersebut sudah bergantung di atas pokok pohon dimana kakinya keatas kepalanya kebawah. Sehingga ibunya memanggil dan membujuk agar anaknya turun dari pokok pohon tersebut, akhirnya gempa tersebut berhenti dengan seketika.
Kemudian besoknya, keanehan terjadi dikampung itu bahwa semua padi disawah sudah terbalik dimana uratnya menjadi keatas dan daun biji padinya menjadi kebawah, penduduk kampung semua takut dan heran lantaran belum pernah terjadi seperti hal itu. Namun tidak satu orang pun penduduk di kampung itu yang mengatakan kejadian tersebut di-karenakan oleh anaknya boru Pasaribu yang telah bergantung dengan terbalik di pokok pohon di tombak sulu-sulu.
Akhirnya Raja-raja berkumpul membicarakan kejadian aneh di kampung itu, mereka dengan satu tekad menjumpai Raja Bona ni Onan untuk mengundang Datu Parmanuk [ paranormal ] untuk mempertanyakan secara bathin apa yang kita perbuat untuk anaknya boru Pasaribu tersebut.
Raja Bona ni Onan sebagai tuan rumah untuk mempertanyakan itu kepada Datu maningkir manuk di ampang [ paranormal ]. Mereka berkumpul para Raja dan penduduk kampung untuk menghadiri acara ritual tersebut.
Dipatungkap ma ampang dipasinggalak anduri, martonggo ma Datu i dohot Raja Bona ni Onan terjemahan bebasnya adalah: [ paranormal bersama Raja Bona ni Onan berdoa kepada Maha Dewata atau Tuhan Yang Maha Esa ],
“Ale Ompung na Martua Debata, Mula Jadi na Bolon, Ho do najumadihon saluhut nasa na adong, patinggilma pinggolmu, patonggor simalolongmu, tumangihon tonggo-tonggo nami on, ai masa do na so hea masa diluat nami on, suhar eme di hauma, biurna tu toru urat na tunginjang. Molo so tung na Ho do ale Ompung namanongos dakdana i asa Raja sisukkunon dihami jala Raja Sisombaon, na mangelek ma hami tu ho Ompung jala manomba asa paboaonmu i tu hami, asa pinalu gondang sabangunan.” Demikian Paranormal doa acara ritual para raja-raja di kampung itu dengan maksud dan tujuan agar padi tumbuh seperti biasanya dan para penduduk agar sehat-sehat.
Dengan kesimpulan bahwa Maha Dewata atau Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan kepada Raja Bona ni onan yaitu Bona ni uhum, Bona ni Harajaon di hita Batak. Boru Pasaribu telah melahirkan seorang laki-laki, Singa ni uhum, Singa harajaon, Singa ni hata. Akhirnya Raja Bona ni Onan kembali rujuk kepada istrinya boru Pasaribu dan kemudian mereka mengadakan pesta besar gondang sabangunan, manortor ma dakdana hi dipangido ma Haminjon sabale. Kemudian anak itu menjadi Raja panungkunan, raja sioloan. Ibana ma na gabe Raja Sisingamangaraja pertama.



Bab II
Raja Si Singamangaraja XII
Raja Si Singamangaraja XII (Negeri Bangkara, Tapanuli, 1849 – Simsim, Tano Batak, 17 Juni 1907; bergelar Ompu Pulo Batu) adalah seorang penguasa di daerah Tapanuli, Sumatra Utara pada akhir abad ke-19.
Dia wafat pada 17 Juni 1907 saat membela diri dari serangan pasukan Belanda. Makamnya berada di Soposurung, Balige setelah dipindahkan dari Tarutung.
1. Kerajaan Raja Si Singamangaraja XII
Perlu diketahui bahwa kerajaan Raja Singamangaraja XII yang diwarisinya dari leluhurnya bukanlah sebuah kerajaan dalam pengertian umum. Secara politik, beliau hanyalah raja negerinya sendiri, negeri Bangkara (diucapkan Bakkara). Setelah pendeta Ludwig Ingwer Nommensen membuka pos zending di Silindung maka Singamangaraja khawatir kekuasaan Belanda akan segera masuk ke Tanah Batak. Beliau menjadi pemimpin negeri-negeri Batak yang menentang penjajahan Belanda. Karena merasa terancam oleh Singamangaraja XII maka Nomensen minta agar Belanda mengirim pasukan untuk segera menaklukkan Silindung. Pada 6 Februari 1878 pasukan Belanda tiba di Pearaja, kediaman penginjil Ludwig Ingwer Nommensen, dan bersama-sama dengan penginjil Nommensen pasukan Belanda berangkat ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Si Singamangaraja yang merasa terprovokasi mengumumkan perang (pulas) pada tanggal 16 Februari. Dalam perang yang menjadi terkenal dengan Perang Toba (juga disebut Perang Batak atau Perang Singamangaraja), pasukan Belanda yang diperbantukan oleh pasukan Batak Kristen untuk memberantas perlawanan Singamangaraja, membakar puluhan kampung, termasuk Bangkara, kampungnya Singamangaraja XII sendiri. Singamangaraja terpaksa mengundurkan diri ke daerah Dairi dan dari situ ia berkali-kali menyerang Belanda hingga akhirnya ditembak mati dalam sebuah patroli Belanda di tengah hutan daerah Dairi pada tahun 1907.
2. Gelar
Gelar Singamangaraja adalah gelar kelompok turun temurun yang memiliki keistimewaan wibawa (sahala) raja iman dari cabang marga Sinambela, tinggal di Bangkara. Karena keistimewaan, keunggulan, kearifan yang berlangsung turun-temurun mereka dihormati sebagian besar orang Batak, khususnya dari belahan marga besar Sumba. Pahlawan nasional Indonesia ini yang disebut juga Ompu Pulo Batu adalah Singamangaraja yang keduabelas.



3. Cap Si Singamangaraja XII
Singamangaraja XII memiliki tiga cap yang telah diteliti oleh Uli Kozok dalam buku "Surat Batak: Sejarah Perkembangan Tulisan Batak, Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Si Singamangaraja XII. Jakarta : Gramedia. 2009.

Protecting Your Home from Fire Having Fun at the Casino
Nov 20

4. Keturunan Raja Si Singamangaraja XII (1849-1907)
1. Nama : Patuan Bosar Ompu Pulo Batu Sinambela
2. Gelar : Raja Si Singamangaraja XII
3. Lahir : Bakkara, Tapanuli, tahun 1849
4. Penobatan menjadi raja : Tahun 1867
5. Meninggal : Sionom Hudon, Tapanuli, 17 Juni 1907
6. Ayah : Raja Si Singamangaraja XI
7. Ibu : Ompu Boru Situmorang

Istri : - Boru Simanjuntak
- Boru Nadeak
- Boru Sagala
- Boru Siregar
- Boru Situmorang

Anak:
- Patuan Nagari (Lk)
- Raja Pangkilim (Lk)
- Patuan Anggi (Lk)
- Raja Sabidan (Lk)
- Nagok (Lk)
- Sahudat (Lk)
- Raja Buntal (Lk)
- Raja Barita (Lk)
- Randang (Lk)
- Rinsan (Pr)
- Boru Lopian (Pr)
- Sunting Mariam (Pr)
- Tambok Br Sinambela (Pr)
- Saulina (Pr)
- Purnama Rea (Pr)
Catatan: Data ini belum lengkap dan urutannya tidak beraturan.
Cucu:
- Pulo Batu
- Patuan Sori
- Dan lain-lain
Cicit : Raja Tonggo Tua Sinambela dan lain-lain
Sumber:-Album Pahlawan Bangsa, Edisi: Revisi, Cetakan Ke-18.(Diterbitkan oleh PT. Mutiara Sumber Widya)-Ahu Si Singamangaraja Oleh Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat

5. Raja Si Singamangaraja XII (1849-1907)
Menolak Dinobatkan Menjadi Sultan Dia seorang pejuang sejati, yang anti penjajahan dan perbudakan. Pejuang yang tidak mau berkompromi dengan penjajah kendati kepadanya ditawarkan menjadi Sultan Batak. Ia memilih lebih baik mati daripada tunduk pada penjajah. Ia kesatria yang tidak mau mengkhianati bangsa sendiri demi kekuasaan. Ia berjuang sampai akhir hayat.Perjuangannya untuk memerdekakan ‘manusia bermata hitam’ dari penindasan penjajahan si mata putih (sibontar mata), tidak terbatas pada orang Tapanuli (Batak) saja, tetapi diartikan secara luas dalam rangka nasional.Semua orang yang bermata hitam dianggapnya saudara dan harus dibela dari penjajahan si mata putih (sibontar mata). Dia merasa dekat dengan siapa saja yang tidak melakukan penindasan, tanpa membedakan asal-usul. Maka ia pun mengangkat panglimanya yang berasal dari Aceh. Dengan dasar itulah, sehingga ketika pertempuran melawan penjajah Belanda di Balige tahun 1883, Si Singamangaraja XII berupaya mendekati serdadu Belanda yang antara lain terdiri dari saudara-saudara sebangsa dari Jawa yang jelas juga bermata hitam. Ia mencoba memberitahukan persaudaraan di antara mereka dibandingkan dengan orang Belanda, yang ketika itu diidentikkan dengan sekelompok etnis bermata putih yang suka melakukan penindasan.
Raja Si Singamangaraja XII yang lahir pada tahun 1849 di Bakkara, Tapanuli, sebuah daerah di tepian Danau Toba, ini diangkat menjadi raja pada tahun 1867 menggantikan ayahnya Raja Si Singamangaraja XI yang meninggal dunia akibat penyakit kolera. Sebagaimana leluhurnya, sejak Si Singamangaraja II, gelar Raja dan kepemimpinan selalu diturunkan dari pendahulunya secara turun temurun.Sebagaimana dengan Si Singamangaraja I sampai XI, beliau juga merupakan seorang pemimpin yang sangat menentang perbudakan yang memang masih lazim masa itu. Jika beliau pergi ke satu desa (huta), beliau selalu meminta agar penduduk desa tersebut memerdekakan orang yang sedang dipasung karena hutang atau kalah perang, orang-orang yang ditawan yang hendak diperjualbelikan dan diperbudak.Pada masa pemerintahannya, kegiatan zending pengembangan agama Kristen oleh Nommensen Cs dari Jerman juga sedang berlangsung di Tapanuli. Tidak begitu lama dengan itu, kekuasaan kolonial Belanda pun mulai memasuki daerah Tapanuli. Maka untuk menghadapi segala kemungkinan, ia pun mulai mengadakan persiapan-persiapan dengan mengadakan musyawarah dengan raja-raja serta panglima daerah Humbang, Toba, Samosir, dan Pakpak/Dairi.Perang urat syaraf pun makin meningkat pada kedua belah pihak. Walaupun sudah dicoba, jalan damai sudah tidak dapat lagi ditempuh. Maka pada tanggal 19 Pebruari 1878 serangan mulai dilancarkan pasukan Si Singamangaraja XII yaitu rakyat Tapanuli sendiri terhadap pos pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat Tarutung. Pertempuran yang menewaskan banyak penduduk tersebut akhirnya memaksa pasukan Si Singamangaraja mundur.
Tapi walaupun harus mundur dari Bahal Batu, semangat juang perlawanan pasukan itu masih tetap tinggi terutama di desa-desa yang belum tunduk pada Belanda seperti Butar, Lobu Siregar, Tangga Batu, dan Balige selaku basis pasukan Si Singamangaraja XII ketika penyerangan ke Bahal Batu. Sebaliknya di pihak Belanda, dengan kemenangan di Bahal Batu tersebut, semakin berani mengejar terus pasukan Si Singamangaraja XII sampai ke desa-desa yang tidak tunduk pada kolonial. Dalam pengejaran tersebut, mereka selalu membakar desa dan menawan raja-raja desa. Akibatnya, pertempuran pun berkobar di mana-mana seperti di Sipintu-pintu, Tangga Batu, Balige, Bakkara dan sebagainya.
Bahkan dalam pertempuran kedua di Balige, Si Singamangaraja XII sempat terkena peluru di atas lengan, walau lukanya tidak sampai membahayakan nyawanya namun kuda putihnya si hapas pili mati ketika itu. Ia pun melakukan perang gerilia. Dengan begitu, Si Singamangaraja XII pun terpaksa berpindah-pindah seperti dari Balige ke Bakkara kemudian ke Huta Paung di Dolok Sanggul, selanjutnya ke Lintong (kampung pamannya (tulang) Ompu Babiat Situmorang) dan kembali lagi ke Bakkara, begitulah terkadang berulang. Dan ketika kedua kalinya Si Singamangaraja XII menyingkir ke Lintong, Belanda pun menyerbu ke sana secara tiba-tiba pada tahun 1989.Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan menghadapi persenjataan yang lebih modern dari Belanda, akhirnya perlawanan gigih pasukan Si Singamangaraja XII pun terdesak.
Dari situlah dia dan keluarga serta pasukannya menyingkir ke Dairi, yang kemudian selama 21 tahun tidak mengadakan serangan terbuka pada pasukan Belanda. Pada kurun waktu itu, beliau tetap mengadakan perlawanan dengan cara melakukan kunjungan ke berbagai daerah seperti ke Aceh dan raja-raja kampung (huta) di Tapanuli dengan maksud agar hubungan di antara mereka tetap terjaga terutama memberi semangat kepada mereka agar tidak mau tunduk pada Belanda. Akibatnya perlawanan oleh raja-raja Terhadap Belanda pun kerap terjadi. Pihak Belanda meyakini, bahwa perlawanan yang dilakukan oleh raja-raja kampung itu tidak lepas dari pengaruh Si Singamangaraja XII. Pihak penjajah Belanda juga melakukan upaya pendekatan (diplomasi) dengan menawarkan penobatan Si Singamangaraja sebagai Sultan Batak, dengan berbagai hak istimewa sebagaimana lazim dilakukan Belanda di daerah lain.
Namun Si Singamangaraja menolak tawaran itu. Sehingga usaha untuk menangkapnya mati atau hidup semakin diaktifkan. Dan setelah melalui pengepungan yang ketat selama tiga tahun, akhirnya markasnya ketahuan oleh serdadu Belanda. Dalam pengejaran dan pengepungan yang sangat rapi, peristiwa tragis pun terjadi. Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah dan akan dinobatkan menjadi Sultan Batak. Namun pahlawan yang merasa tidak mau tunduk pada penjajah ini lebih memilih lebih baik mati daripada menyerah. Dalam sejarah perjuangan nasional Indonesia, ia seorang pejuang yang tidak mau berkompromi dengan Belanda.
Sehingga terjadilah pertempuran sengit yang menewaskan hampir seluruh keluarganya melawan penjajah. Patuan Bosar Ompu Pulo Batu atau Raja SiSingamangaraja XII bersama dua putra dan satu putrinya serta beberapa panglimanya yang berasal dari Aceh gugur pada saat yang sama yaitu tanggal 17 Juni 1907 di Sionom Hudon. Kedua putranya itu yaitu putra sulungnya Patuan Nagari dan Patuan Anggi sedangkan putrinya bernama boru Lopian, srikandi sejati yang masih berumur 17 tahun. Raja Si Singamangaraja XII tepatnya gugur di hutan daerah Simsim, Sindias di kaki gunung Sitapongan, kurang lebih 9-10 km dari Pearaja, Sionom Hudon, Tapanuli, Sumatera Utara. (Disebut SionomHudon, sesuai dengan keenam marga yang menguasai daerah itu yaitu Tinambunan,Tumanggor, Maharaja, Pinayungan, Turutan, dan Anakampun).
Jenazahnya mula-mula dimakamkan di Tarutung, kemudian dipindahkan ke Sopo Surung Balige.Keluarga Si Singamangaraja XII yang turut gugur dalam pertempuran melawan kolonial Belanda tersebut bukan hanya dua putra dan putri yang sangat disayanginya tersebut, tapi tidak lama sebelumnya, abangnya yang bernama Ompu Parlopuk juga sudah gugur ketika melancarkan perang Gerilya tersebut. Demikian halnya dengan sang Permaisuri Raja Si Singamangaraja XII, boru Situmorang, juga telah lebih dulu meninggal tidak lama sebelum wafatnya Si Singamangaraja XII akibat keletihan bergerilya di tengah hutan. Bahkan, Pulo Batu, cucu yang sangat disayanginya, harus meninggal di usia muda sebelum kakeknya.
Raja Si Singamangaraja XII alias Ompu Pulo Batu (Ompu Pulo Batu merupakan penamaan yang diambil dari nama cucu laki-laki paling sulung dari putranya paling sulung, dalam hal ini Pulo Batu merupakan anak sulung dari Patuan Nagari), akhirnya harus sama-sama wafat dengan cucu yang sebelumnya sangat diharapkannya menjadi penerus perjuangannya itu. Perang Batak yang dipimpin Si Singamangaraja XII di Tapanuli, Sumatera Utara yang pecah sejak tahun 1878 itu, akhirnya berakhir sudah. Sejarah mencatat, ketika gugurnya sang pahlawan ini yang menjadi Gubernur Jenderal yaitu pemangku jabatan Kerajaan Belanda yang tertinggi daerah kolonial di Nusantara adalah Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz, sedangkan Gubernur Militer di Aceh yang mencakup Sumatera Utara adalah Jenderal G.O.E.van Daalen.a Dan dibawah pasukan Kapten Christoffel alias ‘Si Macan Aceh ‘ seorang berkebangsaan Swiss yang sebelumnya hanya merupakan serdadu bayaran, namun kemudian tahun 1906 menjadi warga negara Belanda, akhirnya sang pahlawan, Raja Si Singamangaraja XII gugur tertembak.
Kapten Christoffel yang melaporkan gugurnya Raja Si Singamangaraja XII di Tanah Batak kepada Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz di Bogor ketika itu membawa bukti jarahan berupa Piso Gaja Dompak dan Stempel Kerajaan. Stempel kerajaan dan Piso Gaja Dompak pun secara resmi disampaikan oleh Bataviaaschap Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan di Batavia) pada rapatnya tanggal 7 Agustus 1907 kepada Museum di Gedung Gajah (Jalan Merdeka Barat sekarang-red). Piso Gaja Dompak waktu itu diberi tanda nomor 13425. Mengenai pusaka yang satu ini, beberapa kalangan anggota keluarga Raja Si Singamangaraja XII mengklaim, bahwa Piso Gajah Dompak yang sebenarnya masih disimpan oleh anggota keluarga. Sementara yang lain mengatakan bahwa salah seorang dari pihak boru (pihak dari anak perempuan) yang menyimpannya. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa Piso Gaja Dompak itu telah menghilang ke langit.
Piso Gaja Dompak itu sendiri adalah satu keris yang panjangnya sekitar 60-70 cm dengan pegangan yang menyerupai patung gajah. Menurut keluarga Si Singamangaraja dan berdasarkan hasil penelitian berbagai sarjana, pusaka ini sudah ada sejak Si Singamangaraja I yaitu sekitar pertengahan abad XVI Masehi. Bersama stempel kerajaan, pusaka tersebut merupakan lambang penting dari pemerintahan Raja Si Singamangaraja I sampai ke XII.Perang yang berlangsung selama 30 tahun itu memang telah mengakibatkan korban yang begitu banyak bagi rakyat termasuk keluarga Si Singamangaraja XII sendiri. Tapi walaupun SiSingamangaraja XII telah wafat, tidak berarti secara langsung membuat perang di tanah Batak berakhir, sebab sesudahnya terbukti masih banyak perlawanan dilakukan oleh rakyat Tapanuli khususnya pengikut dari Si Singamangaraja XII sendiri. Di hati rakyat sudah tumbuh semangat kemerdekaan dari segala bentuk penindasan seperti yang sudah ditanamkan sang pahlawan. Namun perlawanan rakyat itu tidak lagi sebesar perlawanan yang dipimpin Si Singamangaraja XII, sebab Belanda sudah semakin banyak menguasai kampung-kampung.
Di samping itu, ketika itu pemimpin perlawanan rakyat itu pun belum ada yang bisa menyamai Si Singamangaraja XII yang bisa menghimpun semua raja-raja di Tapanuli bahkan dari Aceh. Sejak itu sejarah baru pun tertulis. Daerah Aceh dan Sumatera Utara bagian pedalaman yang sampai tahun 1903 masih belum bisa dikuasai Belanda dan bahkan sebelum wafatnya Si Singamangaraja XII pada tanggal 17 Juni 1907 itu, kekuasaan Hindia Belanda di Nusantara masih minus Sumatera Utara bagian pedalaman, akhirnya berakhir. Sejak itu lengkaplah seluruh wilayah Nusantara menjadi daerah jajahan Belanda sebab Sumatera Utara bagian pedalaman inilah yang merupakan daerah terakhir di Nusantara yang dimasukkan ke dalam kekuasaan pemerintahan penjajahan Belanda. ► juka-atur
Sumber : Kitab Batara Guru
6. Riwayat Singkat Perjuangan Raja Sisingamangaraja XII
Ketika Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi Raja Batak, waktu itu umurnya baru 19 tahun. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang “terbeang” atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan. Belanda pada waktu itu masih mengakui Tanah Batak sebagai “De Onafhankelijke Bataklandan” (Daerah Batak yang tidak tergantung pada Belanda.
Tahun 1837, kolonialis Belanda memadamkan “Perang Paderi” dan melapangkan jalan bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga.
Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut “Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden”, dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau ‘De Onafhankelijke Bataklandan’.
Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Sisingamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda. Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan “Regerings” Besluit Tahun 1876” yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di Sibolga, suasana di Tanah Batak bagian Utara menjadi panas. Raja Sisingamangaraja XII yang kendati secara clan, bukan berasal dari Silindung, namun sebagai Raja yang mengayomi raja-raja lainnya di seluruh Tanah Batak, bangkit kegeramannya melihat Belanda mulai menganeksasi tanah-tanah Batak.
Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain. Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :
1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.
Terlihat dari peristiwa ini, Sisingamangaraja XII lah yang dengan semangat garang, mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula, Sisingamangaraja XII bukan anti agama. Dan terlihat pula, Sisingamangaraja XII di zamannya, sudah dapat membina azas dan semangat persatuan dan suku-suku lainnya.
Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya. Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30 tahun. Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII.
Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, tempat istana dan markas besar Sisingamangaraja XII di Tangga Batu, Balige mendapat perlawanan dan berhasil dihempang. Belanda merobah taktik, ia menyerbu pada babak berikutnya ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Sisingamangaraja XII di daerah Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara. Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.
Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Sisingamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Domino berikut yang dijadikan pasukan Belanda yang besar dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat di Pantai Sibolga. Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan. Raja Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII dikerahkan. Empat puluh Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya sampai 20 meter dan mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang melaju menuju Balige. Pertempuran besar terjadi.
Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan Sisingamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih. Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Sisingamangaraja XII.
Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Sisingamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Sisingamangaraja XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain.
Pada waktu itulah, Gunung Krakatau meletus. Awan hitam meliputi Tanah Batak. Suatu alamat buruk seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada situasi yang kritis, Sisingamangaraja XII berusaha melakukan konsolidasi memperluas front perlawanan. Beliau berkunjung ke Asahan, Tanah Karo dan Simalungun, demi koordinasi perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda. Dalam gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja Sisingamangaraja XII. Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga berani mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala bantuan dari Batavia, Fort De Kok, Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para tawanan diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan Belanda.
Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan Sisingamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki “Si Gurbak Ulu Na Birong”. Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Sisingamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima Sisingamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1889.
1. Tahun 1890, Belanda membentuk pasukan khusus Marsose untuk menyerang Sisingamangaraja XII. Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil di Aceh.
2. Tahun 1903, Panglima Polim menghentikan perlawanan. Tetapi di Gayo, dimana Raja Sisingamangaraja XII pernah berkunjung, perlawanan masih sengit. Masuklah pasukan Belanda dari Gayo Alas menyerang Sisingamangaraja XII.
3. Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala, Isteri Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan Belanda. Ikut tertangkap putra-putri Sisingamangaraja XII yang masih kecil. Raja Buntal dan Pangkilim. Menyusul Boru Situmorang Ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap, menyusul Sunting Mariam, putri Sisingamangaraja XII dan lain-lain.
4. Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Konon Raja Sisingamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya.
Pengikut-pengikutnya berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan dinista, mereka pun ikut menjadi korban perjuangan.
Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, selama tiga dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara. Itulah yang dinamakan “Semangat Juang Sisingamangaraja XII”, yang perlu diwarisi seluruh bangsa Indonesia, terutama generasi muda. Sisingamangaraja XII benar-benar patriot sejati. Beliau tidak bersedia menjual tanah air untuk kesenangan pribadi.
Sebelum Beliau gugur, pernah penjajah Belanda menawarkan perdamaian kepada Raja Sisingamangaraja XII dengan imbalan yang cukup menggiurkan. Patriotismenya digoda berat. Beliau ditawarkan dan dijanjikan akan diangkat sebagai Sultan. Asal saja bersedia takluk kepada kekuasaan Belanda. Beliau akan dijadikan Raja Tanah Batak asal mau berdamai. Gubernur Belanda Van Daalen yang memberi tawaran itu bahkan berjanji, akan menyambut sendiri kedatangan Raja Sisingamangaraja XII dengan tembakan meriam 21 kali, bila bersedia masuk ke pangkuan kolonial Belanda, dan akan diberikan kedudukan dengan kesenangan yang besar, asal saja mau kompromi, tetapi Raja Sisingamangaraja XII tegas menolak. Ia berpendirian, lebih baik berkalang tanah daripada hidup di peraduan penjajah.
Raja Sisingamangaraja XII gugur pada tanggal 17 Juni 1907, tetapi pengorbanannya tidaklah sia-sia. Dan cuma 38 tahun kemudian, penjajah betul-betul angkat kaki dari Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan Sukarno-Hatta. Kini Sisingamangaraja XII telah menjadi sejarah. Namun semangat patriotismenya, jiwa pengabdian dan pengorbanannya yang sangat luhur serta pelayanannya kepada rakyat yang sangat agung, kecintaannya kepada Bangsa dan Tanah Airnya serta kepada kemerdekaan yang begitu besar, perlu diwariskan kepada generasi penerus bangsa Indonesia.
Dalam upaya melestarikan system nilai yang melandasi perjuangan Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII dengan menggali khasanah budaya dan system nilai masa silam yang dikaitkan dengan keinginan membina masa depan yang lebih baik, lebih bermutu dan lebih sempurna, maka Lembaga Sisingamangaraja XII yang didirikan dan diketuai DR GM Panggabean pada tahun 1979, telah membangun monumen Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII di kota Medan yang diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto di Istana Negara dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 10 Nopember 1997 dan Pesta Rakyat peresmian monumen tersebut di Medan dihadiri sekitar seratus ribu orang, dengan Pembina Upacara Menko Polkam Jenderal TNI Maraden Panggabean.
Kemudian oleh Yayasan Universitas Sisingamangaraja XII pada tahun 1984 telah didirikan Universitas Sisingamangaraja XII (US XII) di Medan, pada tahun 1986 Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Silangit Siborong-borong Tapanuli Utara dan pada tahun 1987 didirikan STMIK Sisingamangaraja XII di Medan.
Sumber : Harian SIB


Bab III
Wawancara Tentang Keluarga Sisingamangaraja

1. Siapa Mengkhianati Sisingamangaraja XII?
Tidak ada basa-basi. Seperti namanya, Napatar, yang berarti tidak ada yang disembunyikan. Terpancar bahwa dialah tempat keluarga mempertahankan wibawa dalam terang. Kesan pertama ketika bertemu dengan cucu Sisingamangaraja XII, kelahiran Siborongborong 13 Mei 1941, ini adalah hangatnya persahabatan. Sorot matanya tenang, tak ada kesan kuasa, apalagi kesaktian di sana. Namun, suami dari boru Pakpahan dan ayah tiga orang anak ini, bisa serius kalau diajak berbincang. Di bawah ini petikannya.
2. Apa yang paling mengesankan yang pernah Amang alami sebagai cucu Raja Sisingamangaraja XII?
Ketika di Bandung, semasa kuliah tahun 1960-an. Pada waktu itu akan diadakan pertunjukan sandiwara tentang Sisingamangara XII. Saya ditunjuk memerankan Sisingamangaraja. Tidak ada yang mengetahui saya adalah cucunya. Lalu, saat pergelaran berlangsung, ada undangan yang datang dari Jakarta melihat saya. “Kalian tahu siapa yang memerankan Sisingamangaraja itu?” salah seorang dari undangan itu bertanya kepada sutradara. Sutradaranya orang Jawa, tidak mengenal saya.

Sutradara dan mereka yang terlibat dalam pertunjukan jadi heran. “Pantas dia sangat tahu sejarahnya,” kata mereka. Mengapa saya tidak memperkenalkan diri sebagai cucu Sisingamangaraja? Karena yang saya inginkan yang dikenal penonton adalah Sisingamaraja dan bukan saya. Kejadian itu sangat mengesankan bagi saya.

Sebelum pementasan tersebut, ada seorang pelukis yang melukis Sisingamangaraja di panggung. Lukisannya persis. Sampai sekarang saya tidak tahu di mana lukisan itu. Yang saya ingat, waktu itu seorang pejabat tentara orang Batak yang menyimpannya. Sebelum melukis, pelukis tersebut mewawancarai saya seperti apa Sisingamangara itu. Pertunjukan tersebut diadakan di Gedung Nusantara Bandung. Begitulah penghargaan teman-teman saya yang bukan Batak terhadap Sisingamangaraja. Namun, di Bandung tidak ada Jalan Sisingamangaraja, hanya di Yogya yang ada (tertawa).

3. Sebagai keturunan Raja Sisingamangaraja apakah Amang pernah mengalami hal-hal yang gaib?
Saya kira tidak pernah. Hanya Raja Sisingamangarja yang memiliki kekuatan gaib, bukan keturunaannya. Namun, jika pun ada, hanya orang lainlah yang bisa melihat itu, bukan saya.

4. Mengapa tulang-belulang Sisingamaraja XII dipindahkan dari Pearaja (Tarutung) ke Soposurung (Balige)? Mengapa tidak ke Bakkara sebagai pusat dinasti Sisingamangaraja?
Sebenarnya yang membuat itu adalah Soekarno. Tahun 1953, Soekarno datang ke Balige dengan naik helikopter. Dia berpidato di lapangan yang sekarang disebut Stadion Balige. Dalam pidatonya ia mangatakan bahwa “Balige ini bagi saya sangat mengesankan. Pertama, karena ia sangat indah. Kedua, di Balige inilah untuk pertama kali orang Batak mencetuskan perang melawan Belanda (Perang Pulas).”

Setelah itu, masih di atas podium Soekarno menanyakan di mana kuburan Sisingamangaraja XII. Ada yang menjawab di Tarutung. Soekarno bertanya lagi, kenapa tidak dipindahkan ke Balige? Karena dari sinilah perang Batak yang terkenal itu dimulai. Itu kata Soekarno. Sejak itu muncul diskusi di kalangan para tokoh Batak. Raja Sabidan setuju. Dia adalah salah seorang anak Sisingamangaraja XII, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala BRI Sumatera Utara.
Kuburuan di Tarutung di mana Sisingamangaraja dimakamkan adalah makam untuk para tawanan. Soekarno meminta, sebagai pahlawan, Sisingamangara seharusnya dimakamkan di taman makam pahlawan.

5. Umur berapa Anda waktu prosesi pemindahan tulang-belulang itu?

Saya masih ingat, ketika itu saya berumur sekitar 12 tahun. Sejak dari Tarutung rombongan pembawa tulang-belulang itu dikawal haba-haba (angin puting- beliung). Sementara rombongan hampir tiba di Balige, angin puting-beliung itu seperti pengawal, berjalan mendahului prosesi yang membawa tulang-belulang sang raja. Angin menyapu bersih semua kotoran yang ada di jalan dan di sekitar makam. Haba-haba itulah yang menunjukkan tempat yang menjadi makam Sisingamangaraja. Ini fakta, karena saya melihat sendiri kejadian itu. Tidak banyak orang tahu tentang hal itu.

6. Apakah Soekarno datang menghadiri prosesi?
Oh nggak. Waktu itu dia hanya mengirim telegram, mengucapkan selamat. Waktu itu kami hanya empat orang, cucu laki-laki dari Sisingamangaraja XII, saya dan dua adik saya, ditambah Raja Patuan Sori, ayah dari Raja Tonggo. Ketika prosesi itu berlangsung, hanya ayah saya, Raja Barita, yang masih hidup sebagai anak Sisingamangaraja XII.

7. Bisa dijelaskan keadaan keluarga SisingamangarajaXII?
Istri Sisingamangaraja XII ada lima; boru Simanjuntak, boru Situmorang, boru Sagala, boru Nadeak, boru Siregar. Boru Siregar sebenarnya adalah istri dari abangnya, Raja Parlopuk. Dia menikahi boru Siregar setelah Raja Parlopuk meninggal. Keturunannya yang sekarang ini hanya berasal dari dua anak, Raja Buntal dan Raja Barita. Anak laki-laki Sisingamangaraja yang punya keturunan adalah Patuan Anggi, Raja Buntal dan Raja Barita. Ayah saya adalah Raja Barita. Anak Patuan Anggi adalah Pulo Batu. Sebagai pahoppu panggoaran maka Sisingamangaraja XII bernama Ompu Pulo Batu. Pulo Batu meninggal saat berumur tiga tahun. Dia jatuh ke jurang bersama pengasuhnya. Kecelakaan itu terjadi saat rombongan Sisingamangaraja tercerai-berai di pengungsian.

Beberapa kali ada orang datang kepada saya, mengaku-ngaku “Ahu do Pulo Batu” (Sayalah si Pulo Batu). Tetapi, ah, tidak masuk akal. Masih muda mengaku-ngaku Pulo Batu. Kalaulah benar, dia seharusnya sudah lebih tua dari saya. Jadi saya tidak percaya. Cucu Sisingamangara XII yang masih hidup saat ini hanya lima. Sayalah yang paling tua.
8. Saat ini berapa keturunan Sisingamangaraja XII?
Cucu dan cicitnya yang laki-laki 14 orang. Jika digabungkan dengan keturunan putri Sisingamangaraja, dan berenya langsung tidak sampai seratus orang. Sekarang saya sudah buat silsilah Sisingamaraja XII, karena selama ini banyak yang mengaku-ngaku sebagai keturunannya.

9. Mengapa Sisingamanagara XII sampai tertangkap?
Menurut cerita, Sisingamangaraja tertangkap karena ada tiga orang yang berkhianat. Ada tiga orang yang setia pada Sisingamangaraja tertangkap oleh Belanda. Mereka disiksa, dipaksa untuk menunjukkan tempat persembunyian Sisingamangaraja. Tak tahan siksaan, dengan tubuh ditanam ke dalam tanah, cuma kepala yang tinggal, mereka menyerah dan menunjukkan di mana Sisingamangaraja berada.Tanpa pengkhiatan tersebut, Belanda takkan tahu di mana Sisingamangaraja berada.

10. Siapa pengikut setia Sisingamangaraja XII?
Di Samosir ada Ompu Babiat Situmorang. Dia dan pasukannya dengan teguh melawan Belanda. Kalau mereka bertemu Belanda akan mereka bunuh. Kulitnya dijadikan tagading (kulit gendang). Tagading seperti itu sampai sekarang ini masih ada di Ariamboho. Jadi merekalah panglima pasukan Sisingamangaraja XII yang setia dalam melawan Belanda. Di Hutapaung ada Barita Mopul.

11. Dari mana Sisingamangaraja membiayai pasukaannya?

Katanya, di daerah Dolok Pinapan, antara Parlilitan dan Pakkat, ada tambang emas. Dia tidak memungut pajak.
12. Tolong ceritakan tentang Si Boru Lopian?
Lopian itu tomboy. Tetapi, dia adalah putri kesayangan Sisingamangaraja XII. Karena itu pula, dia ikut berperang bersama ayahnya. Dulu, beberapa kali roh si Lopian merasuk ke dalam diri orang tertentu, orang itu trance, kesurupan. Sejak kami memindahkan saring-saring (tulang belulang) Sisingamangaraja XII ke Soposurung, Balige. Suara orang kesurupan itu berkata, “Pasombuon muna do holan ahu di tombak i,” katanya, yang berarti ”Tegakah kalian membiarkan aku sendiri di hutan itu.” Pertanyaan yang menyetuh perasaan itu ada hubungannya dengan kenyataan bahwa semua keturunanan Sisingamangaraja XII yang meninggal di pembuangan baik di Kudus, di Bogor, sudah kami satukan di makam keluarga, persis di belakang Tugu Sisingamangaraja XII di Balige. Oleh karena itu, kami pergi ke Dairi, ke Sindias, untuk mengambil tulang-belulang Lopian.
Tetapi, ’kan sudah tidak mungkin lagi diambil! Karena, konon, dia juga ditenggelamkan oleh musuh ke dalam sugai Sibulbulon dan ditimbun dengan tanah. Kami hanya mengambil secara simbolis, hanya segumpal tanah untuk dibawa ke Soposurung. Sejak itu tidak pernah lagi ada orang trance, kemasukan roh boru Lopian.

Saat pengambilan, kami juga mendapat ancaman dari bupati dan masyarakat setempat. Mereka tidak mau kuburuan Lopian dipindahkan. “Sampe adong do istilah tikkini si harungguan ikkon seketton nami angka namancoba mambuat i. ([Kalau di masa penjajahan] kami akan potong jika ada orang yang mencoba mengambil kuburan Lopian).” Setelah kita berikan pengertian, mereka minta kami untuk mangulosi mereka. Ada 43 marga yang harus diulosi. Sebenarnya, mereka mau meminta agar perjuangan Sisingamangaraja XII di Dairi tidak boleh dilupakan. Saya jawab, bukan kami yang menentukan. Tetapi, keluarga tidak keberatan kalau ada masyarakat yang meminta agar Lopian tetap di Dairi. Waktu rombongan yang membawa sejemput tanah dari Dairi ke Balige, aparat di Dolok Sanggul menghadang. Mereka tidak mau Lopian dibawa ke Balige. Namun, karena mobil yang digunakan mengangkut sejemput tanah tadi berbeda dengan mobil yang ditumpangi keluarga, maka loloslah mobil yang membawa sejemput tanah tadi.

13. Adakah pustaka yang diwariskan dinasti Sisingamangaraja?
Ada. Hanya sekarang berada di perpustakaan Belanda. Sisingamagaraja XI-lah yang menulis pustaha kerajaan, setebal 24 jilid. Semuanya dibawa Belanda. Keluarga pernah meminta ke 24 jilid buku itu, tetapi menurut mereka, syaratnya harus ada fasilitas gedung yang ber-AC. Karena belum ada kemampuan keluarga, maka rencana itu terkatung-katung.


14. Mengapa jabatan Sisingamaraja XII tidak diwariskan ke Sisingamaraja XIII?
Sebenarnya karena tidak ada yang meminta. Sebab jabatan Sisingamangaraja itu ditentukan oleh enam marga seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Biasanya dilakukan di Onan Bale, di Bakara. Pengangkatan Sisingamangaraja dilaksanakann kalau ada masalah genting; ada penyakit atau musim kemarau panjang.

15. Bagaimana dengan pendapat bahwa dinasti Sisingamangara tidak hanya berasal dari satu marga? Ada yang mengatakan Sisingamangara itu hanya roh, bisa datang kepada siapa saja?
Bisa jadi. Hanya yang dari satu sampai keduabelas jelas semuanya dari marga Sinambela. Memang, sejak semula kelahiran Sisingamaraja I adalah hasil pernikahan Bona Ni Onan dengan boru Pasaribu. Tetapi, kalau tidak Sinambela, saya kira dia harus dari keturunan Sisingamangaraja.
16. Apakah benar keluarga Sisingamangaraja dipaksa memeluk agama Kristen?

Tahun 1907 semua keturunan Sisingamaraja XII ditawan di Pearaja, Tarutung. Lalu, ada marga Tobing mengajari mereka untuk belajar agama Kristen. Setelah itu mereka dibabtis. Raja Buntal, Pangkilim, Raja Barita dan yang lain setelah besar, disekolahkan ke tanah Jawa. Sebenarnya mereka dibuang. Taktik Belanda untuk menghindari pengaruh anak-anaknya terhadap masyarakat. Jadi dua orang di Batavia, satu di Jatinegara, satu lagi di daerah Glodok. Lalu di Bogor. Yang di Kudus meninggal di sana, yang satu lagi wafat di Bandung.
Raja Buntal ketika itu lulus dari sekolah hukum. Setelah tamat, mereka kembali ke Tapanuli. Raja Sabidan di angkat menjadi kepala Bank di Padang Sidempuan. Sementara Raja Buntal ditempatkan sebagai wakil keresidenan Tapanuli mewakili Belanda di Daerah Toba. Sementara Ayah saya (Raja Barita) ditempatkan sebagai camat di Teluk Dalam, Nias. Sepulang dari Teluk Dalam, Ayah saya menikah dan ditempatkan di Tarutung. Perkawinannya di Porsea dibiayai oleh Belanda. Pernikahan Raja Buntal juga dibiaya dan dikontrol oleh Belanda. Undangan dan tata cara pernikahan harus dengan persetujuan Belanda.
17. Siapa Raja Tobing yang mengajari keluarga agama Kristen?
Raja Henokh Tobing. Sebagai tanda terima kasih dari Ompung boru Sagala atas kebaikan Raja Henokh Tobing itu, diberikanlah putrinya, Sunting Mariam, menikah dengan putranya.

18. Apakah Henokh Tobing keturunan Raja Pontas?
Bukan. Raja Pontas Tobing adalah orang yang memberikan tanah yang digunakan sebagai tahanan keluarga di Pearaja,Tarutung. Raja Pontas Tobing dianggap menghianati Sisingamagaraja XII dan bersekongkol dengan Belanda. Satu waktu, Raja Pontas memanggil Sisingamangara XII untuk mendamaikan Raja Pontas dengan saudaranya. Begitu Sisingamangaraja muncul, maka yang datang ternyata Belanda.

Sebenarnya, bukan masalah misi zending, tetapi karena ia menjadi mata-mata Belanda. Dengan Raja Pontas Tobing-lah Sisingamangaraja XII bermasalah. Sekarang, keturunan dari Raja Pontas ini meminta tanah tadi kembali melalui gugatan. (Lokasinya bersebelah dengan Pusat HKBP, di Tarutung). Saya bilang, itu tanah sudah diberikan Belanda kepada keluarga, dan kami yang mengelola. Pemerintah memutusakan bahwa yang menempatilah yang memiliki hak kepemilikan atas tanah itu. Maka itu hak kami.
19. Sejak kapan Sisingamangaraja melakukan perang terhadap Belanda?

Setelah Belanda menjadikan Tarutung sebagai daerah jajahan tahun 1876. Setahun kemudian, berlangsung rapat raksasa di Balige, di mana Sisingamangara XII dan raja-raja di Balige, mengumumkan pulas (maklumat perang) menentang Belanda. Semua raja-raja Toba berkumpul. Keputusan rapat tersebut ada tiga. Pertama,perang terhadap Belanda. Kedua, tidak menolak zending. Ketiga, membuka hubungan diplomatik dengan suku bangsa yang lain. Ketika itu Barita Mopul dan Raja Babiat ikut dalam rapat itu.
Dari sanalah perang terhadap Belanda dimulai. Dimulai di Bahal Batu, di Humbang, di Lintong Nihuta. Dilanjutkan Tangga Batu, Balige. Dalam pertempuran pertama Sisingamangara XII masih bisa menahan gerak maju pasukan Belanda. Lalu perang di Balige Sisingamaraja mundur, dan mengubah taktik menjadi perang gerilya. Tahun 1883 hampir seluruh daerah Toba dikuasai Belanda. Menyingkirkanlah Sisingamaraja ke wilayah Dairi.
20. Tempat-tempat kramat Sisingamagaraja masihkah dilestarikan?
Hariara parjuaratan (sejenis beringin), pohon di mana Sisingamangara I dulu bergantungan, masih ada. Di bawahnya itu ada kompleks kerajaan Sisingamangaraja. Di bawahnya lagi ada Batu Siukkap-Ukkapon, sebuah lubang yang dalam yang ditutup dengan batu, di mana Sisingamangaraja selalu mengucurkan darah binatang persembahan. Karena dia berpantang makan darah.
Jepang pernah mencoba menyelidiki dan mengukur kedalaman lubang itu. Dua gulung tali diulurkan, tapi tidak menyentuh dasar lubang. Sementara tombak (hutan) Sulusulu berada di lokasi perkampungan marga Marbun. Saat ini, di sana sudah ada penandanya. Hutan ini adalah tempat pertama kali Boru Pasaribu, ibunda Sisingamangaraja I, mendapat wangsit bahwa dia akan memperoleh anak yang di kemudian hari akan menjadi raja. Di situlah dia sering marpangir (keramas), menyisir rambutnya dengan menggunakan jeruk purut. Boru Pasaribu acapkali berjemur dan bersemedi di atas batu.
Lalu dekat pantai Danau Toba ada Aek Sipangolu (air kehidupan). Di dekatnya terhampar Batu Hudulhundulan, tempat istirahat Raja Sisingamangaraja. Tak jauh dari situ ada hariara na marmutiha (beringin). Katanya, kalau cabangnya patah menandakan Sisingamangaraja yang telah digantikan wafat. Kalau ratinganya yang patah, berarti ada keturunannya yang meninggal. Kalau ada dari keluarga raja ini berpesta, maka daun-daunya akan ikut menari-nari. Makam Sisingamaraja XI ada di Bakara.

21. Apa arti lambang di bendera Sisingamangaraja itu?
Kalau yang putih menggambarkan partondi hamalimon, tentang agama. Yang merah parsinabul dihabonaran, artinya menjungjung tinggi kebenaran. Yang bulat menggambarkan mataniari sidompakon, artinya matahari tidak bisa ditantang, mengambarkan kekuasaan Sisingamangaraja. Sementara delapan sudut melambangkan delapan penjuru angin. Pisau kembar mengambarkan keadilan sosial. Capnya menggunakan aksara Batak dan Arab, terbaca ”Ahu Sahap Ni Omputta Sisingamangaraja Mian di Bakkara” (Saya adalah cap raja kita Sisingamangaraja yang bermukim di Bakkara).
22. Piso Gajah Dompak, di mana dia sekarang?
Di Museum Nasional. Tahun lalu, saya ke sana melihat Piso Gajah Dompak itu. Dulu, sebelum diberikan kepada negara, Gajah Dompak disimpan oleh Sunting Mariam, putri Sisingamangaraja XII. Saya ingat cerita namboru Sunting Mariam, di pangkal pisau itu ada delima merah merah, dan itu juga saya buktikan di museum.

23. Ada foto asli Sisingamangaraja XII?
Tidak ada foto aslinya. Waktu Sisingamangaraja tertembak bersama kedua anaknya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi, Belanda membawa jenazah mereka melalui Salak, Sionomhudon, Parbuluan, Paropo, Panguruan, Balige sampai ke Tarutung. Di Balige, sebelum sampai ke Tarutung, penutup jenazah dibuka, kondisinya sudah bengkak. Jenazah dipotret, tetapi tidak berhasil, hangus. Yang ada foto Sisingamangaraja XI, ayah Sisisingamangaraja XII.
24. Tidak inginkah keluarga, pemugaran di Bakkara itu biayanya dari pampasan perang/Belanda?
Soal pampasan perang sudah diserahkan kepada pemerintah pusat. Semua dana pampasan sudah diserahkan kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik. Tetapi, dana tersebut tidak ada yang disediakan khusus untuk pemugaran Bakkara. Kalau keluarga ingin mengajukan tuntutan pampasan perang secara langsung kepada Belanda, harus melalui persetujuan pemerintah.

1 comments:

Unknown said...

1. Simbol matahari itu benar, tetapi simbol matahari yg bulat putih yang disebut mataniari sidompahon yg artinya tidak boleh ada yg menentang kekuasaan Raja Sisingamangaraja. Sedangkan yg dimaksud penulis matahari itu adalah 8 penjuru mata angin. Jadi tidak ada matahari dan bulan dalam simbol kerajaan sisingamangaraja melainkan matahari dan 8 penjuru mata angin.

2. Boru Lopian dibunuh terlebih dahalu daripda sisingamangaraja. Mengetahui borunya terbunuh, sang Raja langsung menghaol borunya dan terkena darah borunya itu. Sementara pantangan Sisingamangaraja adalah darah. Darisitulah Ia tertembak oleh salahsatu prajurit sibottar mata.

3. Tidak pernah makam Sisingamangaraja dipindahkan dari soposurung Balige kesamosir. Saya tidak pernah mendangar bahkan tau hal itu. Jika memang makam Sisingamangaraja dipindahkan kesamosir, tlong beritahu dimana jelasnya disamosir? Saya sering kesamosir tetapi tidak pernah melihat makam Sisingamangaraja diSamosir. Mauliate

Post a Comment