Pages

Thursday 10 May 2012

Asal Muasal Tuak Bagot, Dari Air Mata Gadis Rupawan

(Artikel ini sudah diterbitkan pada edisi sebelumnya. Namun karena adanya instruksi untuk          menutup Lapo Tuak di Tapanuli Utara, atas permintaan sejumlah pembaca, artikel ini diterbikan kembali. Redaksi) 

Dari sekian banyak legende atau cerita rakyat Batak Toba, salah satu diantaranya yang cukup menarik adalah cerita tentang asal muasal minuman "tuak bagot", yakni tuak yang bersumber dari pohon enau. Tulisan ini diterjemahkan/disunting dari tulisan Friemar di surat kabar keliling Imanuel tanggal 19 November 1919. Mungkin ada manfaatnya di dongengkan untuk pengantar anak menjelang tidur.



Menurut cerita, tuak bagot lebih dulu ada dari tuak kelapa. Rasanya pun tidaklah sama. Kalau tuak kelapa rasanya lebih manis dan kadar alkoholnya lebih tinggi dibanding tuak bagot. Sedang tuak bagot bagot rasanya agak asam, kadar alkoholnya lebih rendah. Kebanyakan kedai tuak lebih suka menjual tuak bagot, karena peminatnya juga lebih banyak. Selain itu tuak bagot juga dianggap mujur untuk memperlancar air susu ibu yang baru melahirkan. Itu sebabnya ibu yang baru melahirkan terutama di desa selalu dianjurkan minum tuak, agar "tarusnya" deras sehingga bayinya tidak merasa kekurangan minum.



Mungkin pula bisa dipercaya bisa tidak, hal itu ada hubungannya dengan kisah terjadinya tuak bagot, konon bermula dari airmata seorang gadis rupawan yang mengorbankan dirinya menjelma menjadi sebatang pohon enau (bagot) untuk membebaskan ayahnya dari belenggu hutang. Syahdan, dahulu kala di sebuah perkampungan di pinggiran Danau Toba tersebutlah seorang anak lelaki tua hidup berdua dengan anak gadisnya yang berwajah rupawan (cantik). Lelaki tua itu bernama Jalotua, dan anak gadisnya bernama Pitta Bargot Nauli. Ada pun Jalotua sudah lama menduda sejak kematian isterinya tatkala Pitta Bargot berusia dua tahun. Hidup mereka sangatlah sengsara karena kemiskinan. Kalaupun mereka mengusahai secuil tanah, itu hanya dapat menghidupi mereka untuk jangka waktu tidak lama.



Kesusahan bagi Jalotua dan anak gadisnya datang silih berganti. Apalagi ketika suatu ketika si Pitta Bargot jatuh sakit, bertambahlah kesusahan hati lelaki itu. sudah hidup sulit, datang lagi penyakit menimpa anak tercinta. Pikir punya pikir, akhirnya Jalotua pergi menjumpai orang kaya di kampung itu minta pinjaman uang untuk biaya mengobati anaknya. Tentu saja Jalotua tidak mempunyai borg (jaminan) kecuali sebidang tanah yang mereka usahai selama ini.



Suatu malam, Pitta Bargot berkata pada ayahnya: "Hidup kita terus menerus susah. Aku pikir kita perlu mengadakan suatu acara margondang sambil berdoa kepada Mulajadi Nabolon, siapa tahu nasib kita bisa berobah".

Tapi ayahnya menjawab: "Bagaimanalah mungkin itu boru, biaya untuk margondang itu cukup besar, apa daya kita. Kalau kita mau pinjam uang pun apa jaminannya nanti, sedang untuk makan pun kita sulit".



Mendengar ucapan ayahnya itu, Pitta Bargot berkata : "Kalau itu persoalannya, aku bersedia amang berikan sebagai jaminan. Mungkin orang kaya itu mau memberikan uangnya kita pinjam. Mulanya Jalotua tak tega menuruti usul putrinya itu, tapi karena Pitta Bargot mendesak, akhirnya jadi juga anak gadisnya itu ditawarkan kepada orang kaya itu untuk dijadikan "barang" jaminan.



Kemudian berangkatlah keduanya ke rumah orang kaya tersebut. Setelah hal itu diberitahu, si orang kaya ternyata setuju memberikan pinjaman dengan Pitta Bargot sebagai jaminan. Orang kaya itu berpikir, kalau pun nanti Jalotua tidak mampu mengembalikan uang pinjamannya maka sesuai dengan perjanjian, si Pitta Bargot yang cantik itu jadi miliknya dan nanti bisa dijadikan istri kelima. Setelah uang itu diberikan kepada Jalotua,maka Pitta Bargot pun tinggallah sementara di rumah orang kaya itu.



Berangkatlah si Jalotua membawa uang pinjamannya, mencari pargonsi (grup gondang sabangunan) sesuai saran anak gadisnya. Setelah pemusik gondang sudah ditemukan, dan hari pelaksanaannya ditentukan, si Jalotua pun menjumpai anak gadisnya di rumah si orang kaya memberitahu rencana tersebut.



Pitta Bargot kemudian menjumpai si orang kaya meminta izin agar diperkenankan ikut dalam pesta gondang pada hari yang ditentukan ayahnya. Tapi Pitta Bargot juga bertanya : "Bagaimanakah sekiranya penyakitku kambuh saat pesta berlangsung, lalu aku mati di sana, apakah kami juga membayar hutang yang dipinjam damang?".

Si orang kaya menjawab : "Baiklah, kau boleh pergi menghadiri pesta itu. tapi setelah pesta selesai, kembalilah ke sini. Tentang kematian yang kau sebut, itu adalah takdir setiap manusia kalau sudah waktunya. Kalau memang kau meninggal saat pesta gondang itu, ayahmu tak perlu membayar hutang-hutangnya".



Pitta Bargot lalu menceritakan hal itu pada ayahnya. Tapi dalam hatinya sudah ada pikiran tertentu, bahwa orang kaya itu ingin memiliki menjadi istri. Pitta Bargot tidak percaya dengan ucapan orang kaya itu. Dia juga kasihan ayahnya tak sanggup membayar hutangnya setelah pesta selesai. Pitta Bargot pun martonggo (memohon) kepada Mulajadi Na Bolon agar ia dijadikan menjadi sesuatu yang nantinya bisa membebaskan ayahnya dari kesusahan. Saat itu Pitta Bargot telah merasakan bahwa keinginannya akan dikabulkan, sesuai dengan mimpinya. Berkatalah Pitta Bargot kepada ayahnya : "Amang, janganlah bersedih bila ini kukatakan. Kalau aku mati nanti di pesta gondang itu, itu adalah berkat bagi kehidupan dan kebahagiaanmu. Tapi ingatlah amang, setelah aku mati, janganlah mayatku dikubur, karena aku nanti akan berubah menjadi sebatang pohon yang tumbuh di atas tanah yang bisa amang saksikan sepanjang masa. Kalau amang membuat rumah nanti, ambillah rambutku menjadi atapnya, dan tanganku bisa dijadikan tiang-tiang dan urur. Kalau badanku, amang ambillah untuk papan lantai atau dinding. Dan kalau amang tak punya uang, pukulilah bagian mataku, agar air mataku keluar. Tampunglah airmata itu, karena nanti itu bisa dijual menjadi minuman yang disukai banyak orang".



Mendengar hal itu, ayahnya sangat sedih. Pendek cerita gondang pun diadakan di halaman rumahnya. Saat pesta sudah berlangsung dan musik gondang terdengar tiga putaran, si Pitta Bargot mendadak kesurupan. Saat gondang dibunyikan untuk ke tujuh kalinya, Pita Bargot kejang-kejang, dan tak lama kemudian kedua kakinya melesak ke dalam tanah. Yang lebih menggemparkan, sekonyong-konyong seluruh tubuhnya berubah sedikit demi sedikit menjadi sebatang pohon yang makin lama makin besar, lengkap dengan daun-daun sebagaimana halnya sebatang pohon hidup. Seluruh hadirin yang ada di pesta itu terkejut dan berhamburan kesana-kemari, karena peristiwa seperti itu belum pernah terjadi.



Sejak itu pohon itu diberi nama "bagot", yang diambil dari nama Pitta Bargot. Pohon itu berurat ke bawah, berdaun ke atas. Lama-lama tumbuh pula "mata" pohon yang disebut juga arirang. Setelah tiba saatnya Jalotua memukuli bagian mata pohon itu seperti dipesankan putrinya. Air yang keluar deras dari air mata bagot itu kemudian dinamakan tuak. Sejak itu Jalotua menjualnya kepada orang-orang sekampung, yang lama kelamaan menyebar ke berbagai penjuru. Pohon bagot itu pun beranak pinak, tumbuh di berbagai tempat, dan memberi kehidupan pula bagi orang lain.



Kemudian Jalotua pun mendirikan rumahnya. Semua perlengkapan untuk rumah tak ada yang dibeli, tapi dimanfaatkan dari pohon bagot seperti pesan Pitta bargot. Mulai dari ijuk, batang, sampai lidi menjadi benda yang bermanfaat untuk manusia.





0 comments:

Post a Comment